Peneliti sebagai Instrumen

Salah satu alat atau instrumen untuk mengumpulkan data di kualitatif adalah peneliti.

Untuk yang masih baru di dunia riset, atau pun masih baru di kualitatif, hal ini bisa jadi membingungkan, karena bagaimana manusia (peneliti) menjadi salah satu alat pengumpulnya? Bukankah justru hal tersebut akan menimbulkan bias? Bagaimana kalau peneliti menyertakan personal dirinya ke dalam masalah yang diteliti? Bukankah jadi sensitif sekali dan beresiko?

Kenapa peneliti termasuk instrumen pengumpul data?

Karena manusia itu “sensitif”. Pada kualitatif, justru sensitif menjadi faktor yang sangat diperlukan. Karena dengan sensitifitasnya, peneliti dapat memahami makna dari suatu konteks saat pengumpulan data interpretasi data berlangsung (Merriam, 2009).

Tentu kemudian, sensitifitas ini dapat memberikan pengaruh negatif. Bagaimana bila sensitifitasnya justru membuat data menjadi tidak real, manipulatif, dan bias.

Misalnya, ketika peneliti mewawancarai korban bencana alam, bagaimana cara mereka untuk bertahan hidup. Kemudian karena turut merasakan kesusahan yang dialami korban, peneliti jadi menangis atau malah “melebih-lebihkan” kesulitan yang dialami, padahal korban bercerita dengan konteks yang memang mereka kesusahan, tapi tidak se-putus asa sebagaimana yang ditangkap oleh peneliti.

Di situ biasnya terjadi. Maka memang penelitian kualitatif benar-benar harus memahami resiko validitas data yang kerap menyertai seperti ini.

Upaya dalam menghadapi bias

Bias bisa terjadi dari sejak perencanaan, pengumpulan data, saat analisis dan saat fase publikasi. Sebagai solusinya adalah dengan memahami adanya hal ini. Sehingga pembaca nantinya haruslah berpikir kritis dan independen dalam menilai hasil riset peneliti lain bila mana berpotensi merugikan (Panucci dan Wilkins, 2010).

Penting untuk dipahami bahwa, informan bahkan peneliti pun bisa bias karena adanya cara pandang pribadi terhadap suatu hal. Hal ini terjadi di semua riset sosial baik secara sengaja maupun tidak sengaja (Studi Fields dan Kafai dalam Fusch dan Ness, 2015).

Untuk itu, diperlukan upaya-upaya terpadu untuk meminimalisir hal ini. Beberapa diantaranya adalah transparansi. Dimana peneliti menjabarkan segala langkah-langkah yang ia ambil selama penelitian di lakukan. Alasan kenapa diambil langkah tersebut dan bila ada rujukan, apa yang dirujuk itu.

Perlu pula di dalam penelitian penuhnya, peneliti memunculkan dan memaparkan jadwal (hari, jam, tempat) wawancaranya, siapa yang ia wawancara, dan apa pertanyaan-pertanyaaannya. Begitu juga bila observasi, apa yang diobservasi, siapa yang diobservasi, dan bagaimana cara observasinya.

Kemudian, seperti yang dipaparkan sebelumnya pada Pengantar SDK, bahwa memahami masalah dan tujuan penelitian juga salah satu cara yang dapat menghindarkan peneliti dari lepas kontrol saat pengumpulan data, sehingga bias dapat diminimalisir.

Lalu, tentu saja dengan menggunakan Triangulasi. Bahwa pada aplikasinya, triangulasi akan melibatkan peserta penelitian ‘atau informan’ dalam memeriksa dan mengkonfirmasi hasil dari penelitian, sampai dengan teori maupun rujukan lainnya.

Referensi:

 Fusch, P. I., & Ness, L. R. (2015). Are we there yet? Data saturation in qualitative research. The Qualitative Report, 20(9), 1408–1416. 
Merriam, Sharan B. (2009). QualitativeResearch A Guide to Design and Implementation Revised and Expanded from Qualitative Research and Case Study Applications in Education. San Francisco: John Wiley & Sons, Inc.
 Pannucci, C. J., & Wilkins, E. G. (2010). Identifying and Avoiding Bias in Research. Plastic and Reconstructive Surgery, 126(2), 619–625. 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top